Senin, 11 Juni 2012

Pernikahan

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.
Agama Islam juga merupakan yang agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah SWT menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya.
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).
B.            Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pernikahan dalam Islam?
2.      Bagaimana proses-proses dalam pernikahan?
3.      Apa saja jenis pernikahan dalam Islam?
4.      Apakah hikmah dari pernikahan?
BAB II
PEMBAHASAN
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
A.    Pengertian Menikah
Kata nikah berasal dari bahasa arab “nakaha” “yankihu” atau “nikahan” yang berarti kawin atau mengawini. Secara etimologis, nikah diartikan sebagai akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang belum muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Istilah nikah ini dalam Bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai perkawinan. Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan (UU no. 1 Tahun 1974) memiliki pengertian sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B.     Hukum Pernikahan
1.      Jaiz atau Mubah
Perkawinan menjadi mubah hukumnya untuk dilakukan seseorang yang mempunyai harta, tetapi jika ia tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina, dan  jika ia kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap isterinya.
2.      Sunnah
Perkawinan hukumnya sunnah bagi mereka yang telah mampu dan berkeinginan untuk menikah. Perkawinan yang dilakukannya mendapat pahala dari Allah swt. Hal ini didasarkan dari Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, yang artinya “Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang mampu (memiliki kemampuan untuk menikah baik jasmani, rohani dan juga materi), maka hendaklah kalian menikah.”
3.      Wajib
Perkawinan yang dilakukan sesorang yang sudah memilki kemampuan, baik secara materi maupun mental hukumnya wajib. Jika ia menangguhkannya, justru dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kesesatan.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
Hai golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah menikah. Karena sesumgguhnya nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama.) dan memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari Muslim).
4.      Makruh
Perkawinan menjadi makruh hukunya apabila dilakukan oleh orang-orang yang belum mampu melangsungkan perkawinan. Kepada mereka dianjurkan untuk berpuasa.
5.      Haram
Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang ingin menikahi dengan niat yang tidak baik. Misalnya untuk menyakiti seseorang atau menyia-nyiakannya. Selain itu, bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, baik sandang, pangan dan papan, maupun nafkah batin serta nafsunya tidak mendesak.
C.     Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Tujuan dan hikmah pernikahan itu sendiri secara tegas dijelaskan di dalam Al-Quran dan Hadits :
1.      Untuk mendapatkan ketenangan hidup (mawaddah wa rahmah)
2.      Menjaga pandangan mata dan kehormatan
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
Wahai pemuda, barangsiapa di antara kamu yang sudah mampu, maka menikahlah, karena dengan menikah maka akan menundukkan pandangan mata dan menjaga kehormatan, serta bagi yang tidak mampu dianjurkan untuk berpuasa karena dengan puasa dapat mengendalikan diri.”
3.      Untuk mendapatkan keturunan
Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
bahwasanya Rasulullah menyuruh kita untuk menikah dan melarang kita hidup membujang. Beliau bersabda : “... Nikahilah wanita yang bibitnya subur sehingga dapat memberikan banyak keturunan, lagi penyayang karena aku bangga dihadapan para nabi dengan banyaknya kamu di hati kiamat.” (Vita Fitria, 2009: 188)

D.    Sebelum Pernikahan
1.      Ta’aruf Bukan Pacaran
Ta’aruf secara bahasa berarti perkenalan atau memperkenalkan. Perkenalan ini adalah media syar’i yang dapat digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap calon pasangan. Dapat juga dikatakan bahwa tujuan dari ta’aruf ini adalah untuk mencari jodoh. Sisi yang dijadikan pengenalan tak hanya terkait dengan data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing pihak cukup penting.
Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan, ta’aruf sangat berbeda dengan pacaran. Ta’aruf secara syar’i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin menikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam. Ta’aruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Hal-hal yang tercermin dari perilaku pacaran :
a.       Khalwat
Khalwat adalah pertemuan –atau kontak secara fisik—antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, yang didorong oleh adanya kenikmatan dan kelezatan antara mereka berdua. (M. Muhyidin. 2008 : 282) Namun tidak jarang makna khalwat ini diperjungkir-balikan. Dua orang lawan jenis yang sesungguhnya tidak ber-khalwat dikatakan ber-khalwat.
b.      Bersentuhan
Dua syarat yang harus dipenuhi oleh sentuhan yang bisa dikatakan sebagai perbuatan dosa dan terlarang. Yang pertama adalah kesengajaan. Dan syarat yang kedua adalah kenikmatan dan kelezatan. (M. Muhyidin. 2008 : 284)
c.       Ciuman
Dalam kamus, ciuman diartikan sebagai sebuah sentuhan atau tekanan yang diberikan oleh bibir sebagai tanda kasih sayang, salam, atau penghormatan. Bagi mereka, ciuman merupakan kekuatan yang sangat dahsyat untuk keharmonisan hubungan mereka. Sehingga akan sangat disesalkan apabila mereka tidak melakukannya. Namun berbeda bagi mereka yang memiliki nalar sehat dan jiwanya disirami cahaya kesucian. Mereka akan mengatakan bahwa ciuman tanpa sebuah ikatan yang halal akan mengakibatkan hubungan yang buruk dan rendah.
d.      Berpelukan
e.       Hubungan intim
2.      Khitbah
Dalam persiapan pernikahan pihak laki-laki melamar kepada pihak  perempuan yang disebut khitbah, yaitu pihak laki-laki menyatakankeinginannya untuk menikahi seorang perempuan. Apabila seorang perempuan telah dilamar oleh seorang laki-laki, ia diharamkan untuk menerima lamaran laki-laki lain, sebagaimana sabda rasul :
Artinya : “kecuali pinangan sebelumnya meninggalkan pinangan itu atau memberikan izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3.      Tidak Diajarkan untuk Bertukar Cincin
Tukar cincin adalah salinh memberi cincin kawin untuk meresmikan pertunangan. Tradisi ini bukan merupakan tradisi yang disyariatkan dalam ajaran Islam. Bertukar cincin ini adalah tradisi bangsa Roma (Eropa). (Gaya Ahmad.  http://gayaahmad.multiply.com/journal/item/15 )

E.     Proses Pernikahan
Pelaksanaan pernikahan terdiri dari :
5.                            Rukun pernikahan
a.       Calon Suami Istri yaitu laki-laki muslim dan perempuan muslimah yang tidak haram untuk dinikahi.
Syarat-syarat calon suami istri :
1)             Beragama Islam
2)             Tidak dipaksa
3)             Bukan mahram calon suami atau istri
4)             Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
b.      Wali yaitu orang yang bertanggung jawab menikahkan pengantin perempuan, baik wali nasab maupun wali hakim. Wali nasab adalah wali yang mempunyai hubungan darah dengan perempuan yang akan dinikahkan. Sedangkan wali hakim adalah wali yang diangkat untuk menikahkan perempuan yang tidak memiliki atau karena sesuatu haltidak mempunyai wali nasab.
Syarat-syarat sebagai wali :
1)             Beragama Islam
2)             Baligh (dewasa)
3)             Berakal Sehat
4)             Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5)             Adil (tidak fasik)
6)             Mempunyai hak untuk menjadi wali
7)             Laki – laki
c.       Saksi yaitu dua orang laki-laki dewasa yang menjadi saksi atasterjadinya suatu pernikahan untuk menguatkan akad nikah yang terjadidan menjadi saksi keabsahan keturunan yang lahir dari pernikahan tersebut.
Syarat-syarat sebagai saksi :
a)      Islam
b)      Baligh (dewasa)
c)      Berakal Sehat
d)     Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
e)      Adil (tidak fasik)
f)       Mengerti maksud akad nikah
g)      Laki - laki
Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW :
Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ahmad)
d.      Ijab dan qabul, ijab adalah ucapan penyerahan dari wali perempuan kepada pihak laki-laki. Sedangkan qabul adaalah ucapan penerimaan pihak laki-laki atas penyerahan perempuan dari walinya.
e.       Mahar yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan pada saat pernikahan. Jumlah dan jenis mahar tidak ditentukan oleh ajaran islam,tetapi dianjurkan disesuaikan dengan kemampuan laki-laki.
6.                                    Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” .
F.      Kontroversi dalam Praktik Pernikahan
1.         Nikah Siri
a)                              Pengertian Nikah Siri
Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri berasal dari kata assirru yang berarti “rahasia”. Menurut Zuhdi dalam terminologi Fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakan untuk istrinya atau jamaahnya sekalipun keluarga setempat. (Effi Setiawati, 2005: 36)
b)                              Hukum Nikah Siri
1)        Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
عن ابى موسى عن النبى صل الله عليه وسلم قال : لا نكاح إلا بولي
“Diriwayatkan dari Abi Musa dari Nabi SAW. Berkata : "Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”
عن عائشة ان النبى صل الله عليه واله وسلم قال : أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل، فنكاحها باطل فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil.

2)        Nikah Siri dalam Prespektif Islam
Dalam kacamata fiqih aqad pernikahan seperti ini sudah disepakati keabsahannya, dan terlepas dari adanya perundang-undangan yang ada, prosesi aqad pernikahan semacam ini hukumnya mubah. (M. Miftakhul Ulum. 2010. http://chantryintelex.blogspot.com/2010/03/nikah-siri-dalam-perspektif-hukum-islam_31.html )

2.         Nikah Mut’ah
a)                  Pengertian Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah ikatan seorang lelaki dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dan dengan upah tertentu pula.
b)                  Hukum Nikah Mut’ah
Rasulullah SAW pernah memperbolehkan nikah mut’ah ini sebelum stabilnya syari’at Islam. Beliau memperbolehkannya jika dalam keadaan bepergian atau peperangan. hal ini dimaksudkan agar orang-orang yang lemah imannya tidak mudah terjerumus berbuat zina. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud :
 Artinya : “ Kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW sedang isteri-isteri kami tidak turut serta bersama kami. Lalu kami berkata, ‘Apakah boleh kami berkebiri?’ Maka Rasulullah SAW melarang kami melakukan hal itu, dan beliau memberi kamu rukhshah (keringanan) kepada kami mengawini wanita dengan maskawin pakaian untuk satu waktu tertentu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
   Namun kemudian Rasulullah SAW melarang dan mengharamkannya untuk selama-lamanya. (Yusuf Qardhawi. 2000 : 211-213)
3.         Nikah Beda Agama
a)      Pernikahan Seorang Muslim atau Muslimah dengan Orang Musyrik atau Atheis
Pernikahan seorang muslim dengan wanita musyrik atau atheis dihukumi tidak sah. Demikian juga, pernikahan seorang muslimah denagn pria musyrik atau atheis juga dihukumi tidak sah. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah : 221)
b)      Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli al-Kitab
Ahli al-Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Islam membolehkan pernikahan seorang muslim dengan wanita ahli al-Kitab. Allah SWT berfirman, “ Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,tidak maksud berzina dan tidak pula menjadikan mereka gundik-gundik.” (QS. Al-Maidah : 5)
c)      Pernikahan Muslimah dengan Pria Ahli al-Kitab
Pernikahan ini batil dan tidak sah. Sebab, pernikahan ini dikhawatirkan mengancam keberagamaan seorang muslimah. (Sayyid Ahmad Al-Musayyar. 2008: 147-156)
4.         Poligami
a)      Pengertian Poligami
Suatu pernikahan dimana sang suami menikahi lebih dari satu istri dan tidak lebih dari empat orang istri. Hal tersebut disunahkan oleh rasul bagi yang mampu dengan syarat harus adil terthadap istri-istrinya
b)      Hukum Poligami
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 3 dan 129 :

Artinya : “ Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.


Artinya : “ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Surat An-Nisa’ ayat 3 menyatakan bahwa hukum poligami diperbolehkan maksimal berpoligami empat orang namun dituntut untuk berbuat adil. Keadilan yang dimaksud dalam ayat ini adalah keadilan yang berhubungan dengan kebutuhan fisik, sedangkan pada ayat 129 berhubungan dengan keadilan batiniah. Jadi, sejauh laki-laki memiliki kemampuan untuk berbuat adil dalam memenuhi kebutuhan fisik dan batiniah, poligami diperbolehkan. (Vita Fitria, 2009 : 194)
G.                            Hukum Membujang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang sahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pernikahan dalam Islam merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Namun, pernikahan dalam Islam memiliki hukum-hukum tersendiri yang didasarkan pada Al-Quran dan Hadits. Selain sebagai penyaluran naluri seks yang sah, pernikahan juga sebagai penyaluran naluri kebapaan dan keibuan. Namun, ada penyelewengan pernikahan yang dibolehkan dalam Islam. Hal tersebut dibolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
B.     Saran
Berdasarkan masalah diatas kami memberikan saran sebagai berikut :
1.         Bagi seorang laki-laki yang sudah berkeinginan untuk menikah dan sudahmampu baik lahir maupun batin sebaiknya mencari seorang istri dan segera menikahinya, agar tidak terjadi fitnah dan zina.
2.         Bagi orang-orang yang belum memiliki kesiapan menikah, sebaiknya menjaga pandangan dengan lawan jenisnya dan dianjurkan untuk berpuasa.

1 komentar:

  1. saya tertarik dengan tulisan mbak Tutik apakah bisa minta no kontaknya mohon di email jardikmas@gmail.com

    BalasHapus